Senin, 09 Januari 2017

2017: Tahun Berbagi dengan Cinta

Bukan hanya barang pemberiannya yang penting, tapi cinta yang melekat padanya. Dalam sebuah acara, Mahatma Gandhi kehilangan sebuah pensil. Pensil ini pensil kecil, sehingga tidak mudah mencarinya. Gandhi berusaha keras mencari pensil kecil ini, dan semua yang ada dalam ruangan ikut membantunya mencari pensil tersebut. Lalu seseorang berkata, “Bappu, anda adalah bapak negara, mengapa harus mencari sebuah pensil kecil. Ini pensil yang panjang dan bagus untuk anda.” Gandhi menjawab, “Bukan, saya ingin pensil itu. Karena pensil itu diberikan oleh seorang anak dengan penuh kasih sayang.” Bukan hanya pensilnya yang dicari oleh Gandhi, tapi kasih sayang yang melekat pada pensil itu yang sangat penting bagi Gandhi, dan tak tergantikan oleh yang lain. Shakuben, seorang janda yang bekerja keras menghidupi kedua anaknya sebagai seorang penyapu ruangan, mendengar cerita itu. Ia pun lalu bekerja mengumpulkan sampah-sampah pensil di sebuah sekolah untuk disumbangkan kepada anak-anak yang tidak punya pensil. Bukan hanya pensilnya yang penting, tapi cinta kasih, kerja keras dan perhatian Shakuben, yang penting dalam proses tersebut, yang ingin ia persembahkan pada anak-anak yang membutuhkan. Bukan hanya barang yang diberikan yang menjadi aspek penting, tapi emosi, kasih sayang, perhatian dan cinta yang tercurah, ikut menjadi bagian penting dalam pemberian tersebut. Theodore Roosevelt pernah mengatakan, People don’t care how much you know, until they know how much you care.  Orang tidak peduli seberapa banyak kita tahu, sampai mereka tahu seberapa banyak kita peduli.  Perasaan cinta itulah yang akan mereka kenang dan ingat.  Dan perasaan cinta inilah yang akan mentransformasi hidup kita, menjadi lebih sehat, bahagia dan tenang. Jadi, bagaimanakah kita dapat berbagi dengan penuh cinta lebih sering, lebih baik dan lebih rutin mulai hari ini?

Kamis, 05 Januari 2017

Gunakan Logika untuk Melawan Hoax

Kita sedang berada di tengah dunia baru. Dunia yang menyalahkan internet dan media sosial sebagai akibat kemenangan seorang antagonis seperti Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Media sosial seperti Facebook, dipersalahkan karena menyediakan tempat untuk dibanjiri dengan hoax. Terlebih dahulu kita harus menyadari bahwa kita menerima hoax sebagai bahasa asing. Mesin penerjemah Google mengartikan kata ini ke dalam bahasa Indonesia sebagai “berita palsu.” Googlejuga memberi terjemahan lainnya dalam dua kategori, nomina (kata benda), dan verba (kata kerja). Dalam nomina, hoax berarti lelucon, cerita bohong, kenakalan, olokan. Sementara di kolom verba, hoax adalah membohongi, mempermainkan, menipu, memperdaya, memperdayakan. Semua pengertian ini memang mengarahkan hoax sebagai kepalsuan yang negatif. Dan kepalsuan yang disebarkan melalui dunia maya ini ternyata serius. Terutama untuk negara seperti Indonesia yang tercatat memiliki seratus juta pengguna internet, juga dengan sejumlah persoalan yang sangat memainkan peran internet. Dengan internet, keutuhan negara, stabilitas keamanan, menjadi lebih rapuh. Maka tidak heranlah jika menjelang tutup tahun 2016, Presiden Joko Widodo, mengingatkan soal kewaspadaan terhadap pengaruh hoax. Terbentuknya pendapat umum melalui hoax di internet bisa menguras energi masyarakat menuju konflik. Apabila kita memberikan perhatian pada konflik, maka kehati-hatian menghadapi hoax akan terasa sangat nyata. Salah satunya adalah penyebaran ideologi dan aksi yang bisa memecah-belah masyarakat dan membuat kehidupan semakin menjadi tidak damai. Mungkin ada beberapa cara untuk mengendalikan diri di hadapan hoax.

Namun, dasar dari semua itu adalah kesungguhan untuk hidup demi perdamaian dan meyakini bahwa konflik adalah sifat kehidupan yang meminta kita untuk menghindari dan meminimalisirnya. Dan jika ingin berharap pada negara, kita bisa mempercayai Pancasila sebagai ideologi perdamaian. Salah satu contoh yang sangat gamblang adalah ketika pada 11 November 2016 muncul sebuah foto ribuan orang dengan pakaian putih-putih memadati jalan yang menyerupai Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Pada bagian depan long march itu ada sejumlah orang yang memegang spanduk bertuliskan “Lengserkan Ahok karena Ahok Musuh Islam.” Sebagai judul, user yang mengunggah foto ini menulis “Jakarta hari ini...media bungkam.” Demonstrasi itu diklaim sebagai aksi para penentang Ahok – nama lain Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama – sehubungan dengan tuduhan penistaaan agama terhadapnya. Bagaimana menghadapi hoax seperti ini di tengah situasi yang cukup menegangkan karena mengarah pada konflik atas nama agama? Kita tidak perlu masuk ke dalam permasalahan yang dibicarakan dalam foto itu, yaitu penistaan agama yang dilakukan Ahok. Yang terpenting adalah melihat hal yang tampak seperti dari mana foto itu berasal, dan melakukan cross-check terhadap sumber lain tentang kebenaran foto tersebut. Hasilnya? Foto yang diunggah pada 11 Oktober 2016 itu benarlah hoax belaka. Tak ada demonstrasi pada tanggal itu di Jakarta. Demonstrasi baru terjadi tiga hari setelahnya. Namun poinnya, foto tersebut telah disebarkan sebagai kebohongan. Dalam situasi tegang, memang lebih sulit untuk menahan diri agar tak memihak. Dalam kasus Ahok vs penentangnya, kita harus menyadari bahwa hoax tersebut lebih cenderung mempertajam ketegangan alih-alih mengendorkannya. Hal-hal seperti ini membuat hoaxtidak boleh dianggap remeh. Meski demikian, tidak boleh pula dianggap terlalu serius. Dan sepertinya, menghadapi kepalsuan dengan kebenaran yang sudah pasti ada dalam nalar kita adalah senjata paling ampuh untuk melumpuhkan hoax.

Sulitnya Menembus Pascasarjana Dalam Negeri

Saya hanya ingin menyampaikan “setonggok” kegaduhan. Bicara mengenai kehidupan akademik bangsa ini memang beragam, mulai dari Menghadapi dosen killer, kurangnya referensi, masuk sulit, lulus tidak gampang, uang SPP Mahal, Sulitnya bimbingan karya tulis yang terus membelenggu dan Ijazah yang tak terserap dunia kerja. Hadeuh! Kemarin (30/12/2016), sebuah group Telegram saya ramai ciutan-ciutan. Pembahasannya mengenai “Kejutan” dari salah satu Universias Negeri di Bandung. Celoteh teman-teman mengenai kenapa yang diterima masuk di jenjang paska sarjana sangat sedikit sekali. Saya hanya tarik nafas, karena saya adalah salah satu yang tidak LULUS. Tapi tidak apa-apa, masih bisa daftar lagi. Tapi ada yang perlu di stabilo hijau (disayangkan). Belum kering ludah di mulut membahas tentang MEA dan globalisasi, tantangan yang dihadapi tentunya masalah kualitas SDM Indonesia. Ditambah lagi visi pemerintah yang menargetkan jumlah lulusan S2 dan S3 menjadi tujuh kali lipat pada 2025. Optimis pak?..... (sumber) Nah, kedepanya tentu implementasi itu semua harus di imbangin dengan kesiapan-kesiapan Universitas Dalam Negeri. Boleh jadi sedikitnya lulusan magister yang hanya berjumlah 2.300, bukan karena sedikit minat belajar masyarakatnya. Melainkan bisa jadi ini semacam belenggu sulitnya menembus PTN. Sehingga komentar-komentar di lapangan pun sering terdengar bahwa mendaftar jenjang pascasarjana lebih gampang di luar negeri. Tantangannya hanya menyiapkan skor IELTS dan TOEFL iBT. Semuanya melalui jalur online. Belum lagi kualitas pembelajaran disana jauh lebih menyenangkan. Interaksi dengan dosen-dosen yang bersifat easy going. Tak heran kalau pak Wali Kota Ridwan Kamil alumni lulusan ITB mengatakan “kuliah di luar negeri itu lebih gampang. Didalam negeri ia IPK nya hanya kurang dari tiga. Tapi di luar negeri nilainya hampir nyaris sempurna empat. Sedangkan di Indonesia kondisinya berbeda sekali, banyak tahapan yang harus dilewati, mulai dari test Tes Pontensi Akademik, Psikologi dan Tahapan Wawancara. (kesannya) sangat selektif. Sayangnya, tahapan-tahapan itu hingga sekarang belum membuktikan kalau peringkat Universitas dalam negeri akan lebih unggul dengan luar negeri. Berdasarkan QS World University Ranking tingkat Asia saja, Indonesia masih diposisi 67, yaitu Universitas Indonesia. Belum lagi masalah kurangnya tenaga kerja dosen. Jadi ini semacam “ironis”, ketika masyarakatnya ingin mendapatkan pendidikan lanjutan. Faktanya universitas belum siap menampung, karena jumlah dosen paska yang masih sedikit. Hal ini merupakan salah satu faktor membutuhkan perhatian lebih lagi. Karena jika dibiarkan, sampai kapanpun angka statistik dan SDM kita tidak akan meningkat. Dalam fenomena ini, tentu diperlukan perbaikan lagi dalam sistem penerimaannya. Harus semakin lebih bijak dan arif memberikan solusi. Karena penyelenggaran pendidikan lanjutan akan berdampak besar pada pola pikir bangsa Indonesia. Kalau memang benar kuota dosen pascasarjana yang masih sedikit, tentunya tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Harus ditambah segera. Satu lagi, hal yang harus ditekankan adalah mereka yang mendaftar dan kuliah S2 semuanya masih berstatus “bodoh”, ingin belajar. Itu aja!

Minggu, 28 Juni 2015

Mari Tebus Hari-hari Hilang

mari tebus hari-hari hilang
mengganti setiap kesempatan percuma
dengan bertumpuk nota peringatan
Tuhan yang selalu bangun dan terjaga
dimana Ia, lampu suar perahu layar
rasi bintang – adzan – selembar sajadah untuk
sejenak tetirah; terlanjur kita dipuasi, dimaki,
mengutuk gelombang laut --- di antaranya larut
dalam riuh musik dhangdut --- bisik-bisik
di sudut-sudut yang seenak perut merenggut
semua kesempatan hingga bisa bergelut
dari mulut ke mulut, busa air mata tanpa disadari
bakal kucur di kemudian hari.

mari tebus hari-hari hilang
dengan kembali sembahyang.

Menonton Pertunjukan Musik di Masjid Usai Tarawih

Musik adalah hal yang selalu mengasyikkan untuk dinikmati. Itu sebabnya jika ada kesempatan mendengarkan lagu atau menonton pertunjukkan musik secara langsung, saya tak pernah ingin melewatkannya. Tentu saja jika musik yang dibawakan itu sesuai selera hati, telinga dan bermanfaat.
Bulan Ramadhan ini saya sedang suka menyaksikan acara Q-Academy yang tayang di Indosiar setiap hari pukul 21.00 WIB. Melalui acara ini saya bisa menyaksikan pertunjukkan-pertunjukkan musik islami dari grup-grup nasyid, hadrah, qasidah, marawis, gambus hingga band religi. Meski tergolong jarang menyimak jenis musik-musik tersebut, namun sejak pertama saya menikmati alunan syair, nada serta hentakan musik dan gerak yang dibawakan oleh setiap grup.
Gara-gara suka menonton acara itu pula, saya menjadi tertarik untuk menyaksikan pertunjukkan musik yang digelar oleh kelompok ibu-ibu usai tarawih Sejak jelang shalat Isya ketika Imam mengumumkan bahwa usai tarawih akan ada penampilan qasidah di teras masjid, saya langsung merasa senang. Hingga tiba saatnya grup qasidah itu tampil saya langsung mencari posisi untuk bisa melihat dari dekat.
Malam itu sebelum pertunjukkan dimulai, sang Imam yang juga pemuka agama setempat memberikan pengantar. Menurut beliau tak ada yang salah dengan bermusik dan berkeseniaan sekalipun itu digelar di Masjid. Selama yang dipertunjukkan tidak mengajarkan keburukan dan tidak membuat lalai, maka hal itu layak untuk dinikmati. Apalagi kesenian seperti qasidah, marawis dan hadrah yang tak sekadar melagukan syair, tetapi juga membawakan syiar, justru hal yang baik.
Pukul 20.15 pertunjukkan qasidah dimulai. Sekitar dua puluh anggota yang mayoritas ibu-ibu dan hanya seorang pria yang bertindak sebagai additional player duduk memutar saling berhadapan di teras masjid. Sementara di dalam masjid jamaah pria duduk santai menjadi penonton. Di luar teras sejumlah anak kecil juga antusias menanti pertunjukkan.
Tidak semua anggota qasidah bermain musik. Malam itu ada sekitar 4 orang yang sepertinya bertindak sebagai lead vocalis. Mereka duduk menghadap buku syair. Seorang ibu memegang drum, dua orang memainkan alat musik sejenis kendang dan beberapa lainnya memainkan rebana.
Pertunjukkan dimulai dengan tabuhan rebana secara rampak. Tak lama berselang keempat vocalis mulai bernyanyi. Syair berbahasa arab dibawakan dengan suara yang agak melengking dengan tempo sedang. Sampai kemudian para pemain musik ikut bernyanyi membentuk koor massal.
Suara vokalis dan koor bergantian saling mengisi. Sepintas musik yang dibawakan terdengar monoton. Dominasi rebana mengalun dari awal hingga akhir. Sementara drum hanya sesekali ditabuh kencang memberikan hentakan di beberapa bagian. Namun menurut saya pertunjukkan qasidah ini tetap menarik untuk diikuti. Apalagi ini adalah pengalaman pertama saya menyaksikan qasidah di Masjid. Sebelumnya saya hanya menyaksikan pertunjukkan-pertunjukkan musik islami di panggung hajatan atau perlombaan.
Malam itu hanya 2 lagu yang dibawakan. Dengan syair yang diulang-ulang maka pertunjukkan pun berlangsung selama sekitar 20 menit.
Pertunjukkan pun usai. Namun sebelum pulang jamaah shalat tarawih yang menyaksikan pertunjukkan qasidah malam itu masih mendapatkan oleh-oleh lainnya yakni nasi kotak dan makanan kecil. Baru kali ini nonton pertunjukkan musik gratis dan malah diberi makan. Tentu saya saja bukan penonton bayaran. Tapi nasi kotak tak bisa ditolak.

Kejahatan Meningkat, Imbas Budaya Lebaran?

Bulan puasa Ramadhan adalah bagian dari ritual agama yang telah diwajibkan, tetapi saitan pun ternyata tidak berdiam diri untuk tidak turut serta ikut bermain di dalamnya. Saitan ikut meramaikan bulan puasa tetapi bukan dari sisi ‘agama’nya melainkan dari sisi ‘budaya’nya-dua aspek yang berbeda bahkan dapat bertolak belakang, agama berasal dari Tuhan sedang budaya di mana pun adanya merupakan aspek buatan manusia, tetapi manusia terkadang tidak bisa memilah antara mana budaya dengan mana agama, mereka sering mengidentikkan budaya tertentu semisal budaya Arab dengan agama Islam.
Menurut agama, bulan puasa identik dengan ‘bulan suci’ artinya bulan tempat di mana manusia menyucikan diri dari segala bentuk hawa nafsu angkara murka sehingga ketika kelak keluar dari bulan puasa ia menjadi manusia yang terbarukan kembali secara spiritual. Tetapi di bulan suci ini sebagaimana diberitakan oleh media, kejahatan ternyata tetap merajalela di mana-mana dan kuantitasnya justru malah meningkat, lalu apa gerangan yang terjadi (?)
Maaf bila saya lalu berprasangka justru jangan-jangan itu ada kaitannya dengan ‘budaya’ (bukan agama), yaitu budaya lebaran, budaya beli baju-kue-parcel-oleh oleh-mudik dlsb. dan dalam budaya demikianlah saitan lalu bisa ikut bermain, menggoda sebagian orang yang asalnya memang memiliki karakter suka pamer, seorang yang datang ke kampung halaman tergoda untuk memamerkan apa yang dimilikinya selama ia mengembara di kota, lalu tergoda untuk pamer pakaian-mobil-perhiasan intinya pamer identitas sosial yang baru-bahwa identitas mereka telah berubah dari yang ketika di kampung dulu tidak memiliki apa-apa lalu setelah hidup di kota menjadi memiliki apa-apa. Apalagi kalau yang mudik artis-orang terkenal yang tengah naik daun maka mesti hati-hati sebab bisikan untuk pamer diri mungkin akan jauh lebih kuat ketimbang yang bukan.
Yang saya kuatirkan adalah selama bulan puasa masih berjalan fokus orang-orang bukan lagi kepada esensi bulan puasa, yang orang pikirkan adalah aspek budayanya, bukan lagi aspek agamanya. Karena kalau aspek agama yang jadi fokus perhatian, semakin dekat menuju hari lebaran maka manusia akan semakin fokus kepada tujuan bulan puasa sebagai bulan penyucian diri.
Masalahnya adalah apabila godaan untuk memiliki harta benda pada saat lebaran nanti untuk bekal mudik itu demikian sangat kuatnya tetapi pekerjaan tidak punya alias menganggur, nah lalu saitan memberi jalan keluar pintas dengan memberi mereka ide buruk untuk melakukan kejahatan.
Budaya sebagai murni hasil karya manusia adalah suatu yang tidak selamanya baik, juga tidak selamanya buruk. Itu sebab di mana pun adanya agama-ke mana pun agama hadir di dunia ini, ia akan berfungsi sebagai alat saring bagi tiap budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat walau tidak sedikit yang tetap kukuh berpegang pada budayanya walau salah menurut agama.
Budaya lebaran seperti membeli kue-memakai baju baru-mudik bukan budaya yang buruk, bahkan dapat menjadi amal baik apabila disertai niat yang baik, tetapi dapat menjadi amal yang buruk apabila disertai niatan yang buruk seperti keinginan untuk pamer diri. Dan lebih buruk lagi apabila dianggap sebagai sebuah ‘kewajiban’ sehingga apabila tidak memiliki sarana untuk memperolehnya, maka lalu memaksakan diri mencarinya dengan cara cara yang salah yang merugikan orang lain
Itulah (tetapi maaf), hanya kecurigaan semata tetapi kita tak berharap demikian tentunya…. karena lebaran tidaklah wajib untuk dibudayakan yang wajib itu diagamakan.

Selasa, 21 Oktober 2014

Perjanjian Green Hilton Memorial Agreement adalah Dokumen Palsu

Akhir-akhir ini sebuah dokumen yang disebut Green Hilton Memorial Agreement cukup menimbulkan kehebohan di dunia maya. Dokumen misterius ini menyebutkan bahwa Amerika Serikat memiliki hutang 57.000 ton emas kepada Indonesia. Bahkan disebutkan bahwa dokumen inilah yang menyebabkan CIA ikut menggulingkan Presiden Sukarno. Tapi, sebaiknya kita tidak melihat terlalu jauh. Soalnya ada alasan kuat untuk mengatakan bahwa dokumen ini sesungguhnya adalah dokumen palsu. 

Di Indonesia, dokumen ini mungkin baru heboh pada tahun 2013 ini. Namun di Amerika, berita ini sudah beredar sejak tahun 2008 lewat situsbibliotecapleyades.net. Ketika sampai ke Indonesia, beritanya dibuat menjadi lebih bombastis. Misalnya, kalimat pembuka dalam sebuah situs beritamemuatnya seperti ini (saya kutip apa adanya):
"Inilah perjanjian yang paling menggemparkan dunia. Inilah perjanjian yang menyebabkan terbunuhnya Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy (JFK) 22 November 1963. Inilah perjanjian yang kemudian menjadi pemicu dijatuhkannya Bung Karno dari kursi kepresidenan oleh jaringan CIA yang menggunakan ambisi Soeharto. Dan inilah perjanjian yang hingga kini tetap menjadi misteri terbesar dalam sejarah ummat manusia."