Bukan hanya barang pemberiannya yang penting, tapi cinta yang melekat padanya. Dalam sebuah acara, Mahatma Gandhi kehilangan sebuah pensil. Pensil ini pensil kecil, sehingga tidak mudah mencarinya. Gandhi berusaha keras mencari pensil kecil ini, dan semua yang ada dalam ruangan ikut membantunya mencari pensil tersebut. Lalu seseorang berkata, “Bappu, anda adalah bapak negara, mengapa harus mencari sebuah pensil kecil. Ini pensil yang panjang dan bagus untuk anda.” Gandhi menjawab, “Bukan, saya ingin pensil itu. Karena pensil itu diberikan oleh seorang anak dengan penuh kasih sayang.” Bukan hanya pensilnya yang dicari oleh Gandhi, tapi kasih sayang yang melekat pada pensil itu yang sangat penting bagi Gandhi, dan tak tergantikan oleh yang lain. Shakuben, seorang janda yang bekerja keras menghidupi kedua anaknya sebagai seorang penyapu ruangan, mendengar cerita itu. Ia pun lalu bekerja mengumpulkan sampah-sampah pensil di sebuah sekolah untuk disumbangkan kepada anak-anak yang tidak punya pensil. Bukan hanya pensilnya yang penting, tapi cinta kasih, kerja keras dan perhatian Shakuben, yang penting dalam proses tersebut, yang ingin ia persembahkan pada anak-anak yang membutuhkan. Bukan hanya barang yang diberikan yang menjadi aspek penting, tapi emosi, kasih sayang, perhatian dan cinta yang tercurah, ikut menjadi bagian penting dalam pemberian tersebut. Theodore Roosevelt pernah mengatakan, People don’t care how much you know, until they know how much you care. Orang tidak peduli seberapa banyak kita tahu, sampai mereka tahu seberapa banyak kita peduli. Perasaan cinta itulah yang akan mereka kenang dan ingat. Dan perasaan cinta inilah yang akan mentransformasi hidup kita, menjadi lebih sehat, bahagia dan tenang. Jadi, bagaimanakah kita dapat berbagi dengan penuh cinta lebih sering, lebih baik dan lebih rutin mulai hari ini?
My Amazing Daily Life
Catatan kecil petualangan hidup seorang Heru
Senin, 09 Januari 2017
Kamis, 05 Januari 2017
Gunakan Logika untuk Melawan Hoax
Kita sedang berada di tengah dunia baru. Dunia yang menyalahkan internet dan media sosial sebagai akibat kemenangan seorang antagonis seperti Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Media sosial seperti Facebook, dipersalahkan karena menyediakan tempat untuk dibanjiri dengan hoax. Terlebih dahulu kita harus menyadari bahwa kita menerima hoax sebagai bahasa asing. Mesin penerjemah Google mengartikan kata ini ke dalam bahasa Indonesia sebagai “berita palsu.” Googlejuga memberi terjemahan lainnya dalam dua kategori, nomina (kata benda), dan verba (kata kerja). Dalam nomina, hoax berarti lelucon, cerita bohong, kenakalan, olokan. Sementara di kolom verba, hoax adalah membohongi, mempermainkan, menipu, memperdaya, memperdayakan. Semua pengertian ini memang mengarahkan hoax sebagai kepalsuan yang negatif. Dan kepalsuan yang disebarkan melalui dunia maya ini ternyata serius. Terutama untuk negara seperti Indonesia yang tercatat memiliki seratus juta pengguna internet, juga dengan sejumlah persoalan yang sangat memainkan peran internet. Dengan internet, keutuhan negara, stabilitas keamanan, menjadi lebih rapuh. Maka tidak heranlah jika menjelang tutup tahun 2016, Presiden Joko Widodo, mengingatkan soal kewaspadaan terhadap pengaruh hoax. Terbentuknya pendapat umum melalui hoax di internet bisa menguras energi masyarakat menuju konflik. Apabila kita memberikan perhatian pada konflik, maka kehati-hatian menghadapi hoax akan terasa sangat nyata. Salah satunya adalah penyebaran ideologi dan aksi yang bisa memecah-belah masyarakat dan membuat kehidupan semakin menjadi tidak damai. Mungkin ada beberapa cara untuk mengendalikan diri di hadapan hoax.
Namun, dasar dari semua itu adalah kesungguhan untuk hidup demi perdamaian dan meyakini bahwa konflik adalah sifat kehidupan yang meminta kita untuk menghindari dan meminimalisirnya. Dan jika ingin berharap pada negara, kita bisa mempercayai Pancasila sebagai ideologi perdamaian. Salah satu contoh yang sangat gamblang adalah ketika pada 11 November 2016 muncul sebuah foto ribuan orang dengan pakaian putih-putih memadati jalan yang menyerupai Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Pada bagian depan long march itu ada sejumlah orang yang memegang spanduk bertuliskan “Lengserkan Ahok karena Ahok Musuh Islam.” Sebagai judul, user yang mengunggah foto ini menulis “Jakarta hari ini...media bungkam.” Demonstrasi itu diklaim sebagai aksi para penentang Ahok – nama lain Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama – sehubungan dengan tuduhan penistaaan agama terhadapnya. Bagaimana menghadapi hoax seperti ini di tengah situasi yang cukup menegangkan karena mengarah pada konflik atas nama agama? Kita tidak perlu masuk ke dalam permasalahan yang dibicarakan dalam foto itu, yaitu penistaan agama yang dilakukan Ahok. Yang terpenting adalah melihat hal yang tampak seperti dari mana foto itu berasal, dan melakukan cross-check terhadap sumber lain tentang kebenaran foto tersebut. Hasilnya? Foto yang diunggah pada 11 Oktober 2016 itu benarlah hoax belaka. Tak ada demonstrasi pada tanggal itu di Jakarta. Demonstrasi baru terjadi tiga hari setelahnya. Namun poinnya, foto tersebut telah disebarkan sebagai kebohongan. Dalam situasi tegang, memang lebih sulit untuk menahan diri agar tak memihak. Dalam kasus Ahok vs penentangnya, kita harus menyadari bahwa hoax tersebut lebih cenderung mempertajam ketegangan alih-alih mengendorkannya. Hal-hal seperti ini membuat hoaxtidak boleh dianggap remeh. Meski demikian, tidak boleh pula dianggap terlalu serius. Dan sepertinya, menghadapi kepalsuan dengan kebenaran yang sudah pasti ada dalam nalar kita adalah senjata paling ampuh untuk melumpuhkan hoax.
Sulitnya Menembus Pascasarjana Dalam Negeri
Saya hanya ingin menyampaikan “setonggok” kegaduhan. Bicara mengenai kehidupan akademik bangsa ini memang beragam, mulai dari Menghadapi dosen killer, kurangnya referensi, masuk sulit, lulus tidak gampang, uang SPP Mahal, Sulitnya bimbingan karya tulis yang terus membelenggu dan Ijazah yang tak terserap dunia kerja. Hadeuh! Kemarin (30/12/2016), sebuah group Telegram saya ramai ciutan-ciutan. Pembahasannya mengenai “Kejutan” dari salah satu Universias Negeri di Bandung. Celoteh teman-teman mengenai kenapa yang diterima masuk di jenjang paska sarjana sangat sedikit sekali. Saya hanya tarik nafas, karena saya adalah salah satu yang tidak LULUS. Tapi tidak apa-apa, masih bisa daftar lagi. Tapi ada yang perlu di stabilo hijau (disayangkan). Belum kering ludah di mulut membahas tentang MEA dan globalisasi, tantangan yang dihadapi tentunya masalah kualitas SDM Indonesia. Ditambah lagi visi pemerintah yang menargetkan jumlah lulusan S2 dan S3 menjadi tujuh kali lipat pada 2025. Optimis pak?..... (sumber) Nah, kedepanya tentu implementasi itu semua harus di imbangin dengan kesiapan-kesiapan Universitas Dalam Negeri. Boleh jadi sedikitnya lulusan magister yang hanya berjumlah 2.300, bukan karena sedikit minat belajar masyarakatnya. Melainkan bisa jadi ini semacam belenggu sulitnya menembus PTN. Sehingga komentar-komentar di lapangan pun sering terdengar bahwa mendaftar jenjang pascasarjana lebih gampang di luar negeri. Tantangannya hanya menyiapkan skor IELTS dan TOEFL iBT. Semuanya melalui jalur online. Belum lagi kualitas pembelajaran disana jauh lebih menyenangkan. Interaksi dengan dosen-dosen yang bersifat easy going. Tak heran kalau pak Wali Kota Ridwan Kamil alumni lulusan ITB mengatakan “kuliah di luar negeri itu lebih gampang. Didalam negeri ia IPK nya hanya kurang dari tiga. Tapi di luar negeri nilainya hampir nyaris sempurna empat. Sedangkan di Indonesia kondisinya berbeda sekali, banyak tahapan yang harus dilewati, mulai dari test Tes Pontensi Akademik, Psikologi dan Tahapan Wawancara. (kesannya) sangat selektif. Sayangnya, tahapan-tahapan itu hingga sekarang belum membuktikan kalau peringkat Universitas dalam negeri akan lebih unggul dengan luar negeri. Berdasarkan QS World University Ranking tingkat Asia saja, Indonesia masih diposisi 67, yaitu Universitas Indonesia. Belum lagi masalah kurangnya tenaga kerja dosen. Jadi ini semacam “ironis”, ketika masyarakatnya ingin mendapatkan pendidikan lanjutan. Faktanya universitas belum siap menampung, karena jumlah dosen paska yang masih sedikit. Hal ini merupakan salah satu faktor membutuhkan perhatian lebih lagi. Karena jika dibiarkan, sampai kapanpun angka statistik dan SDM kita tidak akan meningkat. Dalam fenomena ini, tentu diperlukan perbaikan lagi dalam sistem penerimaannya. Harus semakin lebih bijak dan arif memberikan solusi. Karena penyelenggaran pendidikan lanjutan akan berdampak besar pada pola pikir bangsa Indonesia. Kalau memang benar kuota dosen pascasarjana yang masih sedikit, tentunya tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Harus ditambah segera. Satu lagi, hal yang harus ditekankan adalah mereka yang mendaftar dan kuliah S2 semuanya masih berstatus “bodoh”, ingin belajar. Itu aja!
Minggu, 28 Juni 2015
Mari Tebus Hari-hari Hilang
Menonton Pertunjukan Musik di Masjid Usai Tarawih





Kejahatan Meningkat, Imbas Budaya Lebaran?
