Kamis, 05 Januari 2017

Gunakan Logika untuk Melawan Hoax

Kita sedang berada di tengah dunia baru. Dunia yang menyalahkan internet dan media sosial sebagai akibat kemenangan seorang antagonis seperti Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Media sosial seperti Facebook, dipersalahkan karena menyediakan tempat untuk dibanjiri dengan hoax. Terlebih dahulu kita harus menyadari bahwa kita menerima hoax sebagai bahasa asing. Mesin penerjemah Google mengartikan kata ini ke dalam bahasa Indonesia sebagai “berita palsu.” Googlejuga memberi terjemahan lainnya dalam dua kategori, nomina (kata benda), dan verba (kata kerja). Dalam nomina, hoax berarti lelucon, cerita bohong, kenakalan, olokan. Sementara di kolom verba, hoax adalah membohongi, mempermainkan, menipu, memperdaya, memperdayakan. Semua pengertian ini memang mengarahkan hoax sebagai kepalsuan yang negatif. Dan kepalsuan yang disebarkan melalui dunia maya ini ternyata serius. Terutama untuk negara seperti Indonesia yang tercatat memiliki seratus juta pengguna internet, juga dengan sejumlah persoalan yang sangat memainkan peran internet. Dengan internet, keutuhan negara, stabilitas keamanan, menjadi lebih rapuh. Maka tidak heranlah jika menjelang tutup tahun 2016, Presiden Joko Widodo, mengingatkan soal kewaspadaan terhadap pengaruh hoax. Terbentuknya pendapat umum melalui hoax di internet bisa menguras energi masyarakat menuju konflik. Apabila kita memberikan perhatian pada konflik, maka kehati-hatian menghadapi hoax akan terasa sangat nyata. Salah satunya adalah penyebaran ideologi dan aksi yang bisa memecah-belah masyarakat dan membuat kehidupan semakin menjadi tidak damai. Mungkin ada beberapa cara untuk mengendalikan diri di hadapan hoax.

Namun, dasar dari semua itu adalah kesungguhan untuk hidup demi perdamaian dan meyakini bahwa konflik adalah sifat kehidupan yang meminta kita untuk menghindari dan meminimalisirnya. Dan jika ingin berharap pada negara, kita bisa mempercayai Pancasila sebagai ideologi perdamaian. Salah satu contoh yang sangat gamblang adalah ketika pada 11 November 2016 muncul sebuah foto ribuan orang dengan pakaian putih-putih memadati jalan yang menyerupai Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Pada bagian depan long march itu ada sejumlah orang yang memegang spanduk bertuliskan “Lengserkan Ahok karena Ahok Musuh Islam.” Sebagai judul, user yang mengunggah foto ini menulis “Jakarta hari ini...media bungkam.” Demonstrasi itu diklaim sebagai aksi para penentang Ahok – nama lain Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama – sehubungan dengan tuduhan penistaaan agama terhadapnya. Bagaimana menghadapi hoax seperti ini di tengah situasi yang cukup menegangkan karena mengarah pada konflik atas nama agama? Kita tidak perlu masuk ke dalam permasalahan yang dibicarakan dalam foto itu, yaitu penistaan agama yang dilakukan Ahok. Yang terpenting adalah melihat hal yang tampak seperti dari mana foto itu berasal, dan melakukan cross-check terhadap sumber lain tentang kebenaran foto tersebut. Hasilnya? Foto yang diunggah pada 11 Oktober 2016 itu benarlah hoax belaka. Tak ada demonstrasi pada tanggal itu di Jakarta. Demonstrasi baru terjadi tiga hari setelahnya. Namun poinnya, foto tersebut telah disebarkan sebagai kebohongan. Dalam situasi tegang, memang lebih sulit untuk menahan diri agar tak memihak. Dalam kasus Ahok vs penentangnya, kita harus menyadari bahwa hoax tersebut lebih cenderung mempertajam ketegangan alih-alih mengendorkannya. Hal-hal seperti ini membuat hoaxtidak boleh dianggap remeh. Meski demikian, tidak boleh pula dianggap terlalu serius. Dan sepertinya, menghadapi kepalsuan dengan kebenaran yang sudah pasti ada dalam nalar kita adalah senjata paling ampuh untuk melumpuhkan hoax.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar