Minggu, 28 Juni 2015

Mari Tebus Hari-hari Hilang

mari tebus hari-hari hilang
mengganti setiap kesempatan percuma
dengan bertumpuk nota peringatan
Tuhan yang selalu bangun dan terjaga
dimana Ia, lampu suar perahu layar
rasi bintang – adzan – selembar sajadah untuk
sejenak tetirah; terlanjur kita dipuasi, dimaki,
mengutuk gelombang laut --- di antaranya larut
dalam riuh musik dhangdut --- bisik-bisik
di sudut-sudut yang seenak perut merenggut
semua kesempatan hingga bisa bergelut
dari mulut ke mulut, busa air mata tanpa disadari
bakal kucur di kemudian hari.

mari tebus hari-hari hilang
dengan kembali sembahyang.

Menonton Pertunjukan Musik di Masjid Usai Tarawih

Musik adalah hal yang selalu mengasyikkan untuk dinikmati. Itu sebabnya jika ada kesempatan mendengarkan lagu atau menonton pertunjukkan musik secara langsung, saya tak pernah ingin melewatkannya. Tentu saja jika musik yang dibawakan itu sesuai selera hati, telinga dan bermanfaat.
Bulan Ramadhan ini saya sedang suka menyaksikan acara Q-Academy yang tayang di Indosiar setiap hari pukul 21.00 WIB. Melalui acara ini saya bisa menyaksikan pertunjukkan-pertunjukkan musik islami dari grup-grup nasyid, hadrah, qasidah, marawis, gambus hingga band religi. Meski tergolong jarang menyimak jenis musik-musik tersebut, namun sejak pertama saya menikmati alunan syair, nada serta hentakan musik dan gerak yang dibawakan oleh setiap grup.
Gara-gara suka menonton acara itu pula, saya menjadi tertarik untuk menyaksikan pertunjukkan musik yang digelar oleh kelompok ibu-ibu usai tarawih Sejak jelang shalat Isya ketika Imam mengumumkan bahwa usai tarawih akan ada penampilan qasidah di teras masjid, saya langsung merasa senang. Hingga tiba saatnya grup qasidah itu tampil saya langsung mencari posisi untuk bisa melihat dari dekat.
Malam itu sebelum pertunjukkan dimulai, sang Imam yang juga pemuka agama setempat memberikan pengantar. Menurut beliau tak ada yang salah dengan bermusik dan berkeseniaan sekalipun itu digelar di Masjid. Selama yang dipertunjukkan tidak mengajarkan keburukan dan tidak membuat lalai, maka hal itu layak untuk dinikmati. Apalagi kesenian seperti qasidah, marawis dan hadrah yang tak sekadar melagukan syair, tetapi juga membawakan syiar, justru hal yang baik.
Pukul 20.15 pertunjukkan qasidah dimulai. Sekitar dua puluh anggota yang mayoritas ibu-ibu dan hanya seorang pria yang bertindak sebagai additional player duduk memutar saling berhadapan di teras masjid. Sementara di dalam masjid jamaah pria duduk santai menjadi penonton. Di luar teras sejumlah anak kecil juga antusias menanti pertunjukkan.
Tidak semua anggota qasidah bermain musik. Malam itu ada sekitar 4 orang yang sepertinya bertindak sebagai lead vocalis. Mereka duduk menghadap buku syair. Seorang ibu memegang drum, dua orang memainkan alat musik sejenis kendang dan beberapa lainnya memainkan rebana.
Pertunjukkan dimulai dengan tabuhan rebana secara rampak. Tak lama berselang keempat vocalis mulai bernyanyi. Syair berbahasa arab dibawakan dengan suara yang agak melengking dengan tempo sedang. Sampai kemudian para pemain musik ikut bernyanyi membentuk koor massal.
Suara vokalis dan koor bergantian saling mengisi. Sepintas musik yang dibawakan terdengar monoton. Dominasi rebana mengalun dari awal hingga akhir. Sementara drum hanya sesekali ditabuh kencang memberikan hentakan di beberapa bagian. Namun menurut saya pertunjukkan qasidah ini tetap menarik untuk diikuti. Apalagi ini adalah pengalaman pertama saya menyaksikan qasidah di Masjid. Sebelumnya saya hanya menyaksikan pertunjukkan-pertunjukkan musik islami di panggung hajatan atau perlombaan.
Malam itu hanya 2 lagu yang dibawakan. Dengan syair yang diulang-ulang maka pertunjukkan pun berlangsung selama sekitar 20 menit.
Pertunjukkan pun usai. Namun sebelum pulang jamaah shalat tarawih yang menyaksikan pertunjukkan qasidah malam itu masih mendapatkan oleh-oleh lainnya yakni nasi kotak dan makanan kecil. Baru kali ini nonton pertunjukkan musik gratis dan malah diberi makan. Tentu saya saja bukan penonton bayaran. Tapi nasi kotak tak bisa ditolak.

Kejahatan Meningkat, Imbas Budaya Lebaran?

Bulan puasa Ramadhan adalah bagian dari ritual agama yang telah diwajibkan, tetapi saitan pun ternyata tidak berdiam diri untuk tidak turut serta ikut bermain di dalamnya. Saitan ikut meramaikan bulan puasa tetapi bukan dari sisi ‘agama’nya melainkan dari sisi ‘budaya’nya-dua aspek yang berbeda bahkan dapat bertolak belakang, agama berasal dari Tuhan sedang budaya di mana pun adanya merupakan aspek buatan manusia, tetapi manusia terkadang tidak bisa memilah antara mana budaya dengan mana agama, mereka sering mengidentikkan budaya tertentu semisal budaya Arab dengan agama Islam.
Menurut agama, bulan puasa identik dengan ‘bulan suci’ artinya bulan tempat di mana manusia menyucikan diri dari segala bentuk hawa nafsu angkara murka sehingga ketika kelak keluar dari bulan puasa ia menjadi manusia yang terbarukan kembali secara spiritual. Tetapi di bulan suci ini sebagaimana diberitakan oleh media, kejahatan ternyata tetap merajalela di mana-mana dan kuantitasnya justru malah meningkat, lalu apa gerangan yang terjadi (?)
Maaf bila saya lalu berprasangka justru jangan-jangan itu ada kaitannya dengan ‘budaya’ (bukan agama), yaitu budaya lebaran, budaya beli baju-kue-parcel-oleh oleh-mudik dlsb. dan dalam budaya demikianlah saitan lalu bisa ikut bermain, menggoda sebagian orang yang asalnya memang memiliki karakter suka pamer, seorang yang datang ke kampung halaman tergoda untuk memamerkan apa yang dimilikinya selama ia mengembara di kota, lalu tergoda untuk pamer pakaian-mobil-perhiasan intinya pamer identitas sosial yang baru-bahwa identitas mereka telah berubah dari yang ketika di kampung dulu tidak memiliki apa-apa lalu setelah hidup di kota menjadi memiliki apa-apa. Apalagi kalau yang mudik artis-orang terkenal yang tengah naik daun maka mesti hati-hati sebab bisikan untuk pamer diri mungkin akan jauh lebih kuat ketimbang yang bukan.
Yang saya kuatirkan adalah selama bulan puasa masih berjalan fokus orang-orang bukan lagi kepada esensi bulan puasa, yang orang pikirkan adalah aspek budayanya, bukan lagi aspek agamanya. Karena kalau aspek agama yang jadi fokus perhatian, semakin dekat menuju hari lebaran maka manusia akan semakin fokus kepada tujuan bulan puasa sebagai bulan penyucian diri.
Masalahnya adalah apabila godaan untuk memiliki harta benda pada saat lebaran nanti untuk bekal mudik itu demikian sangat kuatnya tetapi pekerjaan tidak punya alias menganggur, nah lalu saitan memberi jalan keluar pintas dengan memberi mereka ide buruk untuk melakukan kejahatan.
Budaya sebagai murni hasil karya manusia adalah suatu yang tidak selamanya baik, juga tidak selamanya buruk. Itu sebab di mana pun adanya agama-ke mana pun agama hadir di dunia ini, ia akan berfungsi sebagai alat saring bagi tiap budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat walau tidak sedikit yang tetap kukuh berpegang pada budayanya walau salah menurut agama.
Budaya lebaran seperti membeli kue-memakai baju baru-mudik bukan budaya yang buruk, bahkan dapat menjadi amal baik apabila disertai niat yang baik, tetapi dapat menjadi amal yang buruk apabila disertai niatan yang buruk seperti keinginan untuk pamer diri. Dan lebih buruk lagi apabila dianggap sebagai sebuah ‘kewajiban’ sehingga apabila tidak memiliki sarana untuk memperolehnya, maka lalu memaksakan diri mencarinya dengan cara cara yang salah yang merugikan orang lain
Itulah (tetapi maaf), hanya kecurigaan semata tetapi kita tak berharap demikian tentunya…. karena lebaran tidaklah wajib untuk dibudayakan yang wajib itu diagamakan.